Wednesday 13 May 2009

IPM dan Gerakan Sosial Baru

-->
Paradigma populis, setidaknya telah mengantarkan IPM masuk pada wacana gerakan sosial baru dalam referensi gerakan sosial posmodernisme. Pada tahun 1987, IPM (pernah mengangkat isu gerakan tentang sosialisme relegius, sebagai bentuk pencarian model strategi gerakan untuk melawan kesenjangan sosial yang semakin parah akibat kebijakan Orde Baru yang tidak adil. Akan tetapi, model yang demikian kurang menemukan relevansi sosialnya di tingkat basis. Akhirnya, paradigma waktu itu, kembali pada paradigma elite yang menekankan aspek internalisasi ideologis ke Islaman dan militansi gerakan.
Berbeda dengan paradigma ini, model gerakan sosial baru (new social movement) lebih mengangkat persoalan isu sosial kemanusiaan dan pluralisme secara bersama-sama. Lebih tepatnya, dalam bahasa Islam modus gerakan sosial baru adalah rahmatan lil’alamin, untuk rahmat seluruh alam semesta. Dalam paradigma gerakan ini, sekat-sekat primordialisme gerakan sosial dieliminir dan yang ada adalah musuh yang membahayakan semua orang, seperti, gerakan anti-perang dan terorisme, resolusi konflik, perjuangan hak-hak asasi manusia, gerakan keadilan gender, dan masalah-masalah lingkungan hidup.
Beberapa lokus gerakan sosial baru saat ini, terletak pada: pertama, mengurangi birokratisme negara. Kedua, membangun kesadaran publik akan komoditas publik atau budaya konsumarisme, dan ketiga, mengontrol media massa yang dapat berdampak pada hegemonisasi dan ketergantungan manusia pada media.
Adapun mainstream gerakan IPM dalam menghadapi fenomena baru tersebut ditegaskan melalui perlawanan tanpa kekerasa (nir kekerasan). Kekerasan bisa muncul di mana saja, melalui individu, budaya, media massa, negara, teknologi, dan lain sebagainya. Kekerasan bisa muncul secara struktural, kultural, dan bahkan ideologi. Dampak dari kekerasan adalah adanya korban dan ketidakadilan. Massifnya kekerasan berakibat pada ketidaksadaran manusia akan kekerasan yang ia alami. Biasanya kekerasan ini muncul melalui hegemoni struktural dan kultural dalam masyarakat.

Untuk memahami hal ini dibutuhkan kesadaran kritis manusia yang mampu membaca interaksi dan relasi dalam struktur sosial dan budaya masyarakat. Arti dari kesadaran kritis di sini adalah kemampuan manusia untuk merubahan ataupun mempengaruhi relasi dan interaksi yang tidak adil, atau yang meimbulkan kekerasan, yang sedang terjadi dalam masyarakat. Perubahan tindakan ini dimulai dari individu, kelompok, dan masyarakat. Dengan demikan, diharapkan terdapat proses transformasi sosial yang adil dan tanpa kekerasan.
Terdapat tiga ciri kesadaran kritis, pertama, sadar akan fenomena atau relasi yang tidak adil dalam masyarakat dan merasakannya. Kedua, memahami relasi struktural mengapa kekerasan atau ketidakadilan tersebut terjadi, dan memiliki agenda untuk mengatasi (merubah dan mempengaruhi) masalah tersebut. Ketiga, munculnya tindakan untuk merubah dan mempengaruhi masalah tersebut minimal secara pribadi, kemudian melakukan pengorganisasian yang menimbulkan kekuatan bersama. Dengan adanya pengorganisasian yang memunculkan kekuatan bersama, selanjutnya memiliki strategi dan orientasi untuk melakukan transformasi sosial. Pada titik inilah mainstream gerakan IPM dibangun, yaitu kritisisme dan transformasi sosial. Wallahu A’alam.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Lasantha - Modified By MangABU | indahnya berbagi