Aku
selalu membanggakan diri ketika ditanya sejak kapan kamu mulai puasa?
“ kelas
1 SD aku Cuma batal 2 hari dan kelas 2 SD aku batal 1 hari, dan sejak kelas 3
sampai sekarang alhamdulillah aku tidak pernah batal”, jawabku dengan tegas.
Puasa,
bagiku yang mulai puasa sejak 1 SD, atau kurang lebih usiaku waktu itu 7 tahun,
berarti sampai hari ini aku sudah mengulang puasaku sebanyak 20 kali. Padahal
kalau kita membaca sejarah, konon Nabi Muhammad saw hanya menjalankan 9 kali
puasa. bagaimana dengan mereka yang hari ini berusia 40 tahun lebih... sudah
berapaka kali mereka mengulang puasanya???
20
kali pengulangan sejatinya melahirkan manusia yang dalam Al Quran di sebutkan
sebagai Tattaqun, bahwa puasa itu
adalah untuk membentuk manusia yang bertaqwa. Tapi mungkinkah gelar itu terus
berulang mengikuti keberulangan puasa kita???? Wallahu ‘alam
La’alla dalam ayat disana adalah
sebuah harapan yang mungkin bisa tercapai oleh siapapun. Secara bahasa,
makna la’alla antara lain disitir oleh Ibnu Manzhur dalam kamus Lisanul
‘Arab, sbb: “Menurut al-Jauhari, la’alla adalah kata yang
menunjukkan keraguan (syakk). Aslinya ‘alla, sedangkan huruf lam
pada permulaannya adalah tambahan … kata la’alla sangat sering muncul
dalam hadits, dan ia adalah kata yang menunjukkan pengharapan (raja’),
keinginan (thama’), serta keraguan. Di dalam Al-Qur’an, kata itu berarti
kay (supaya).
Lantas apa maksud la’allakum tattaqun, yang mana ayat ini sangat
terkenal di bulan Ramadhan, yang juga merupakan ayat tentang diwajibkan
berpuasa yaitu Qs. Al-Baqarah: 183.
Dalam terjemahan yang kita kenal, kata la’alla dialihbahasakan
menjadi “semoga”, “supaya” atau “agar” saja, tanpa tambahan keterangan lain.
Secara bahasa, pengertian ini tepat, yaitu sesuai dengan makna ‘asaa
(semoga) dan kay (agar, supaya). Namun karena konteks la’allakum
tattaqun merupakan pernyataan eksplisit dari Allah tentang sesuatu hal,
maka mempergunakan makna lughawi semata akan menghilangkan aspek tahqiq
(pemastian) yang ada di dalamnya. Jadi, semestinya tahqiq ini tidak
boleh dilupakan.
Dengan
demikian, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dimuka, kalimat la’allakum
tattaqun kurang tepat jika diterjemahkan “supaya kalian…” saja.
Seharusnya, begini: “supaya kalian pasti…”, atau kalimat lain yang
maknanya senada. Konsekuensi selanjutnya adalah: ayat-ayat yang memuat frase
ini sesungguhnya merupakan resep yang diberikan oleh Allah, bagaimana supaya
kita bisa bertakwa, secara pasti. Singkatnya, jika kita mematuhi resep yang
diungkap di dalam ayat-ayat yang bersangkutan, atau di dalam ayat-ayat yang
sebelum dan sesudahnya, maka Allah menjamin kita pasti menjadi orang bertakwa.
0 comments:
Post a Comment